ETIKA AKUNTANSI PAJAK
Akuntan
pajak mempunyai beberapa tanggung-jawab kepada publik, melalui pemerintah.
Tanggung jawab akuntan pajak adalah bukan untuk suatu kepalsuan dalam suatu
kewajiban pajak, dan sebagai attestor, suatu kewajiban pajak adalah suatu
pernyataan atau deklarasi atas sangsi dari
kecurangan, dan informasi dari hasil menyajikan laporan keuangan adalah benar,
dan lengkap. Dalam Laporan keuangan AICPA itu dari Responsibility Tax Preparers
(SRTP) dalam kewajiban Pajak Memposisikan 5.05 dan 5.06 :
5.05 "Sistem perpajakan
penilaian diri sendiri dapat berfungsi secara efektif jika wajib pajak
melaporkan hasil mereka di suatu kewajiban pajak yang benar, mengoreksi, dan
melengkapi. Suatu kewajiban pajak adalah suatu laporan wajib pajak fakta-fakta,
dan wajib pajak mempunyai tanggung jawab akhir untuk posisi-posisi menerima
imbal hasil.
5.06 "CPAS menetapakn
bentuk cukai atas sistem perpajakan seperti juga kepada klien-klien mereka.
Kedudukan kuat bahwa wajib pajak tidak memiliki kewajiban untuk membayar lebih
banyak pajak dibanding dengan menurut hukum berhutang, dan CPA mempunyai suatu
cukai kepada klien itu untuk membantu dalam mencapai target."
Statements
on Standards for Tax Services merupakan
pertimbangan etika umum yang mendasari standar yang dibuat oleh Tax
Executive Committee of the AICPA dalam sebuah pamflet yang bertajuk.
Pernyataan ini, yang disebut SSTS, dan interpretasinya menggantikan SRTP dan
interpretasinya sejak 1 Oktober 2000. Yang menarik adalah pada kalimat
pembukaannya: “Standar praktek adalah hallmark dari penyebutan diri
sebagai seorang profesional. Anggota harus memenuhi tanggungjawabnya sebagai
profesional dengan mendukung dan mempertahankan standar yang dengan itu kinerja
profesionalnya bisa diukur”. Dalam kasus tersebut, indikasi terbaik dari
standar etika yang bisa dipenuhi oleh akuntan pajak bisa ditemukan dalam
standar tersebut.
Ada 6 (enam) standar yang
ditunjukkan dalam SSTS, yaitu:
1. Seorang akuntan pajak tidak boleh menyarankan sebuah posisi kecuali ada
kemungkinan realistik untuk kebaikan yang berkelanjutan.
2.
Seorang
akuntan pajak tidak boleh membuat atau menandatangani return jika ini berada
dalam posisi yang tidak boleh disarankan menurut point 1.
3.
Seorang akuntan pajak dapat
menyarankan sebuah posisi yang menurutnya tidak ceroboh selama ini bisa
didisklosur.
4.
Seorang akuntan pajak
berkewajiban untuk menasehati klien tentang potensi hukuman di beberapa posisi,
dan menyarankan disklosur.
5.
Seorang akuntan pajak tidak
boleh menyarankan sebuah posisi yang “mengeksploitasi” proses seleksi audit IRS
atau;
6. Dilarang
bertindak sekadar dalam posisi “membantah”.
Menurut
standar ini, dikatakan tidak etis bila mengkapitulasi permintaan klien untuk
mengurangi liabilitas pajak klien sebenarnya, karena ketika menandatangani return,
anda berarti menyatakan bahwa return adalah benar, tepat, dan lengkap.
Bila menandatanganinya berarti anda terlibat kebohongan.
Sebuah
sistem yang menggunakan self-assessment dan reporting membuat
orang membayangkan tipe pekerjaan yang membuat golf menjadi permainan yang
terhormat. Pajak juga seperti itu. Ini ditentukan oleh self-assessment
dan reporting. Dalam konteks tersebut, sikap fair yang bisa
dilakukan setiap orang adalah dengan mengawasi diri sendiri. Masyarakat kita
sering menggunakan sistem kehormatan yang besar dan ini bisa dijalankan ketika
sebagian besar orang diatur oleh sistem kehormatan tersebut.
Ada sesuatu
yang berlawanan dengan kejujuran dan kesejahteraan publik saat ada upaya untuk
mengelak dari tujuan hukum spesifik yang memberikan batasan pada klien yang
ingin menghindari pembayaran segmen pajak yang fair. Sistem pajak
dapat diselewengkan oleh akuntan dan perusahaan akuntansi yang menggunakan
skema penghindaran-pajak. Bagian implisit dari semua ini adalah sebuah
rekognisi tanggungjawab akuntan dan perusahaannya untuk mempertahankan
kejelasan sistem pajak–untuk menghasilkan keseimbangan antara keuntungan pajak
yang diinginkan dan loophole yang bisa melemahkan sistem.
Akuntan dan
perusahaan akuntansi perlu mengetahui tanggungjawabnya pada masyarakat besar.
Akuntan dan perusahaannya perlu tegas, karena profesionalismenya, untuk
mengikuti jalur etika. Bantuan yang sering digunakan adalah nilai moral
personal dan standar plus sebuah kultur dalam perusahaan yang melarang
pelanggaran nilai etika dalam mencapai tujuan organisasi–sebuah filosofi
manajemen kuat yang mempertegas tindakan etika dan komunikasi jelas dari
perilaku etika. Dalam situasi ini, bahkan ketika menyebabkan kerugian klien,
akuntan tetap akan melakukan apa yang benar. Ancaman kehilangan lisensi akibat
tindakan tidak beretika adalah sebuah faktor, tapi ini bukanlah faktor primer.
Dari
sejumlah tantangan untuk etika, berikut ini adalah yang termasuk peringkat
atas:
1. Kompleksitas dan perubahan sifat dari hukum pajak;
2.
Keterbatasan
waktu untuk praktek;
3.
Pengetahuan
tentang hukum pajak yang kompleks;
4.
Tekanan dari
klien untuk mengurangi liabilitas pajak;
5. Dan kurangnya pemahaman klien terkait tanggungjawab profesional dan potensi
hukuman dari akuntan baik bagi praktisi pajak dan pembayar pajak
Crenshaw
dalam artikelnya memberikan empat alasan mengapa tax shelter ini muncul.
1.
Ada upaya manajemen korporat
untuk mencari cara baru guna mengendalikan biaya bisnis, dan karena tidak mampu
menaikkan harganya, perusahaan mulai mencari cara untuk memotong pajaknya yang
dianggap sebagai biaya.
2.
Bertambahnya
kerumitan dalam aturan pajak dan dunia keuangan, realita ekonomi akan terhambat
– atau berkurangnya realita tersebut – dalam serangkaian tarnsaksi.
3.
Persepsi antar bank investasi
dan lainnya bahwa memimpikan dan mengemas produk pajak “adalah sebuah lini
bisnis yang sukses”, seperti yang dikatakan William J. Wilkins dari Wilmer,
Cutler & Pickering, dan salahseorang anggota dari divisi pajak dari
American Bar Association. (Divisi pajak ini, yang tidak berbicara sebagai wakil
ABA, berisi pengacara yang khusus dalam urusan pajak).
4.
Resiko rendah. Bukan hanya
sulit bagi IRS untuk mendeteksi shelter, tapi hukumannya cenderung ringan dan
tidak selalu diberikan. Jika shelter ditemukan dan dilarang, perusahaan akan
menghutang pajak yang seharusnya dibayar, ditambah bunga. “Ini seperti deal
finansial yang bagus”, kata John E. Chapoton, mantan Assistant Treasury
Secretary dan anggota divisi pajak ABA, yang meminta disklosur perusahaan untuk
menghambat shelter.
Bagi
akuntan, terkait dengan peranannya disarankan untuk menggunakan standar yang
ada secara serius dan mereview kebijakan profit dengan sarana legal
apapun. Selalu ada tekanan pada akuntan, yang memperhatikan profesionalismenya
dan kewajibannya terhadap publik.
Berikut isi dari Statements
on Standards for Tax Services (SSTS):
1. Pernyataan Standar No.1. Standar kemungkinan realistik:
“Secara umum, anggota memiliki keyakinan bahwa posisi return pajak yang
disarankan memiliki sebuah kemungkinan realistik untuk berlanjut secara
administratif atau judisial”, untuk mengkapitulasi kebutuhan perusahaannya.
2. Pernyataan
No.2:
Pernyataan ini bukanlah yang problematik dan mengemukakan: “Seorang anggota
membuat upaya wajar untuk memperoleh informasi dari pembayar pajak untuk
memberikan jawaban pada semua pertanyaan tentang return pajak sebelum
memberikan tanda tangan sebagai preparer”.
3. Pernyataan No.3. Kewajiban untuk memeriksa atau memverifikasi data yang
mendukung:
Seorang preparer dapat menggunakan keyakinan klien yang bagus untuk
memberikan informasi akurat dalam membuat sebuah return pajak, tapi “tidak
mengabaikan implikasi informasi yang dibuat dan harus membuat penelitian wajar
jika informasi menjadi tidak tepat, tidak lengkap atau tidak konsisten” (SSTS).
Di sini, kewajiban untuk sistem pajak menjadi jelas. Preparer akan
menandatangani pernyataan yang menguji bahwa informasi yang terkandung menjadi
benar, tepat, dan lengkap menurut pengetahuan preparer. Konsekuensinya, jika
preparer menyimpulkan bahwa karena ketidakkonsistensinya, informasi menjadi
tidak tepat atau lengkap, preparer berkewajiban untuk tidak menandatangani
return.
4. Pernyataan No.4. Gunakan estimasi:
Ini bukan standar non-problematik. Preparer menggunakan estimasi pembayar
pajak jika ini tidak berpengaruh praktikal dalam memperoleh data dan jika
preparer menentukan bahwa estimasinya sudah beralasan, yang didasarkan
pengetahuan preparer.
5. Pernyataan No.5. Berawal dari sebuah posisi sebelumnya:
Ini adalah sebuah standar teknis. “Seperti yang ditunjukkan dalam SSTS
No.1, Tax Return Positions, anggota bisa merekomendasikan sebuah posisi return
pajak atau mempersiapkan atau menandatangani return pajak yang berawal dari
perlakuan sebuah item yang disimpulkan dalam urusan administratif atau
keputusan pengadilan terkait return sebelumnya dari pembayar pajak”.
6. Pernyataan No.6. Pengetahuan keliru:
Apa yang perlu dilakukan ketika preparer menjadi sadar akan kekeliruan
dalam pengembalian pajak pembayar pajak sebelumnya? Anggota harus “memberitahu
pembayar pajak” dan “merekomendasikan ukuran korektif yang perlu diambil”
(SSTS). Jika dalam mempersiapkan return tahun sekarang, preparer menemukan
bahwa pembayar pajak tidak mengambil tindakan tepat untuk membenarkan errornya
dari tahun sebelumnya, preparer perlu memutuskan apakah perlu melanjutkan
hubungan dengan pembayar pajak. Penarikan diri ini bisa terjadi jika pembayar
pajak tidak mau membenarkan error, dan jika error ini memiliki efek terhadap
return.
7. Pernyataan No.7. Pengetahuan tentang error: urusan administratif:
Jika dalam urusan administratif, preparer menemukan error, preparer harus
“meminta persetujuan pembayar pajak untuk mendisklosur error tersebut kepada
otoritas pajak. Bila tidak ada persetujuan, anggota harus mempertimbangkan
penarikan diri dari representasi pembayar pajak dalam urusan administratif”.
8. Pernyataan No.8. Bentuk dan Isi dari advis untuk pembayar pajak:
Pernyataan
ini tidak menggambarkan bentuk atau isi advis karena kisaran advis begitu
ekstensif dan spesifik menurut kebutuhan setiap pembayar pajak. Apa yang
disarankan adalah bahwa advis ini mencerminkan kompetensi profesional dan
memenuhi kebutuhan pembayar pajak.
Ini menjadi
ringkasan standar dari layanan pajak yang oleh AICPA diharapkan dilakukan oleh
anggotanya yang menjadi preparer pajak. Ini adalah standar yang umumnya bisa
diterapkan bagi akuntan pajak dalam sebagian besar negara karena ini
menggunakan prinsip universal tentang perilaku profesional yang benar dalam
urusan pajak.
Perpajakan di Indonesia
Di negara kita,
keikutsertaan masyarakat dalam perpajakan sangat jelas, bahkan secara yuridis
telah diatur sejak awal berdirinya Republik Indonesia, yakni dalam konstitusi
negara. Saat itu, dalam Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 telah dinyatakan dengan
tegas oleh founding father, segala pajak untuk keperluan negara
berdasarkan undang-undang. Dari aspek legislasi, berdasarkan undang-undang
diartikan rakyat (melalui wakilnya di DPR) telah turut serta menentukan
pengenaan, pemungutan, dan penarikan pajak dari subjek pajak.
Namun banyaknya masalah
korupsi, mafia peradilan dan pajak, konflik antar golongan, keterlantaran
rakyat, pertarungan politik antar partai membuat rakyat Indonesia kehilangan
kepercayaan terhadap pemerintah yang berdampak langsung terhadap pemerintahan
dan masalah-masalah lainnya. Salah satunya penyebab ketidakpercayaan rakyat
dikarenakan kesejahteraan rakyat yang semakin jauh dari kata memuaskan. Bahkan
seringkali terjadi kebijakan yang tidak sesuai dengan harapan rakyat karena
tidak jelas arahnya dan berbanding terbalik antara peraturan tertulis dengan
implementasinya. Kasus mark up dibidang perpajakan, tender, dan desentralisasi
anggaran semakin merajalela. Salah satu kelakuan pemerintah atau oknum
pemerintah yang disoroti adalah Dirjen Pajak. Setelah terungkapnya kasus mafia
pajak yang dilakukan Gayus Tambunan, semakin banyak terkuak keburukan pegawai
perpajakan dan juga sistem perpajakan di Indonesia.
Kepala Bagian
Pemberhentian dan Pemensiunan Direktorat Jenderal Pajak Arif Mahmudin
mengungkapkan berdasarkan data per 29 Oktober 2010, bahwa total pegawai pajak
yang terkena hukuman berat adalah 32 orang, 19 di antaranya, diberhentikan
tidak dengan hormat dan 13 lainnya kena skorsing. Barbagai penyebab sanksi
antara lain: tidak menyelesaikan tugas, menerima uang dari WP untuk dibayarkan
tapi terlambat disetorkan, ada yang melakukan pemalsuan, mengubah data,
merekayasa NJOP, rekayasa SSP (Surat Setoran Pajak). Hal ini menunjukkan
keburukan perpajakan Indonesia tidak hanya buruk di regulasinya saja tetapi
juga oknum perpajakannya sendiri. Hal inilah yang memicu perlu adanya
transformasi internal dan eksternal Pada Dirjen Pajak secara menyeluruh,
mulai dari pusat sampai daerah.
Tanggung Jawab Akuntan
Pajak
Akuntan pajak mempunyai
beberapa tanggung jawab kepada publik, melalui pemerintah. Tanggung jawab
akuntan pajak adalah bukan untuk suatu kepalsuan dalam suatu kewajiban pajak.
Suatu kewajiban pajak adalah suatu pernyataan atau deklarasi atas sanksi dari
kecurangan yang berkaitan dengan perpajakan, serta informasi dari hasil
penyajian laporan keuangan adalah benar, dan lengkap. Dalam Laporan keuangan
AICPA itu dari Responsibility Tax Preparers (SRTP) dalam
kewajiban Pajak Memposisikan 5.05 dan 5.06:
5.05 “Self assessment system perpajakan
dapat berfungsi secara efektif jika wajib pajak melaporkan hasil mereka pada
suatu kewajiban pajak secara benar, mengoreksi, dan melengkapi. Suatu kewajiban
pajak adalah suatu laporan wajib pajak fakta-fakta, dan wajib pajak mempunyai
tanggung jawab akhir untuk posisi-posisi menerima imbal hasil.”
5.06 “CPAS menetapkan bentuk cukai atas
sistem perpajakan seperti juga kepada klien-klien mereka. Kedudukan kuat bahwa
wajib pajak tidak memiliki kewajiban untuk membayar lebih banyak pajak
dibanding dengan menurut hukum berhutang, dan CPA mempunyai suatu cukai kepada
klien itu untuk membantu dalam mencapai target.”
IRS mengemukakan bahwa
tanggung jawab utama praktisi pajak adalah sistem pajak. Komisi IRS, Roscoe
Egger dalam Armstrong (1993 : 85) menyatakan bahwa:
… suatu sistem pajak
yang baik dan kuat tidak hanya terdiri dari entitas administrasi pajak saja,
dalam kasus ini IRS. Hal tersebut juga harus terdiri dari Konggres,
Administrasi dan komunitas praktisi. Bukan sebagai bagian yang terpisah pada
masyarakat yang luas, tetapi lebih bekerja sama ke arah tujuan umum.
Direktur praktik IRS,
Leslie Shapiro dalam Armstrong (1993:85) lebih menegaskan bahwa:
Ketika secara umum
menyetujui bahwa praktisi pajak mempunyai kewajiban atas kemampuan, loyalitas
dan kerahasiaan klien, hal ini disebut juga tanggung jawab praktisi atas sistem
pajak yang baik. Tanggung jawab terakhir adalah pentingnya pervasive
(peresapan)…Dalam hubungan antara praktisi dan klien yang normal, kedua
tanggung jawab dikenali dan dilaksanakan. Namun, situasi ini adalah sulit.
Dalam beberapa situasi praktisi diperlukan untuk memutuskan kewajiban yang
berlaku dan dalam pelaksanaannya dapat disimpulkan bahwa kewajiban atas sistem
pajak yang tertinggi…IRS bersandar pada praktisi pajak untuk membantu dalam
mengatur hukum pajak dengan jujur dan adil dalam pelayanan dan pengembangan
kepercayaan klien dalam integritas dan kepatuhan terhadap sistem pajak.
Menurut William L. Raby
dalam Armstrong (1993 : 85) system pajak yang mendukung IRS akan menimbulkan
perdebatan pajak. Oleh karena itu,praktisi lebih baik melayani publik dengan
mengadopsi suatu sikap. Argumennya adalah:
Aturan etika yang
fundamental dalam praktik perpajakan pada tingkat etika personal adalah
praktisi pajak harus mengijinkan klien untuk membuat keputusan final. Praktisi
tidak berhak mengganti skala nilai kliennya.
Disamping itu praktisi
herus bertanggung jawab tidak menyediakan informasi yang salah untuk
pemerintah.
Etika Akuntan dalam
Perpajakan
Statements on Standards
for Tax Services merupakan
pertimbangan etika umum yang mendasari standar yang dibuat oleh Tax
Executive Committee of the AICPA yang interpretasinya menggantikan
SRTP dan interpretasinya sejak 1 Oktober 2000. Yang menarik adalah pada kalimat
pembukaannya: “Standar praktek adalah lingkup dari penyebutan diri sebagai
seorang profesional. Anggota harus memenuhi tanggungjawabnya sebagai
profesional dengan mendukung dan mempertahankan standar yang dengan itu kinerja
profesionalnya bisa diukur”. Dalam kasus tersebut, indikasi terbaik dari
standar etika yang bisa dipenuhi oleh akuntan pajak bisa ditemukan dalam
standar tersebut.
Ada 6 (enam) standar
yang ditunjukkan dalam SSTS, yaitu:
1. Seorang akuntan pajak tidak boleh menyarankan
sebuah posisi kecuali ada kemungkinan realistik untuk kebaikan yang berkelanjutan.
2. Seorang akuntan pajak tidak boleh membuat atau
menandatangani return jika ini berada dalam posisi yang tidak boleh disarankan
menurut poin 1.
3. Seorang akuntan pajak dapat menyarankan sebuah
posisi yang menurutnya tidak ceroboh selama ini bisa diungkapkan.
4. Seorang akuntan pajak berkewajiban untuk
menasehati klien tentang potensi hukuman di beberapa posisi, dan menyarankan
disklosur.
5. Seorang akuntan pajak tidak boleh menyarankan
sebuah posisi yang “mengeksploitasi” proses seleksi audit IRS atau;
6. Dilarang bertindak sekadar dalam posisi
“membantah”.
Menurut standar ini,
dikatakan tidak etis bila mengkapitulasi permintaan klien untuk mengurangi
liabilitas pajak klien sebenarnya, karena ketika menandatangani return, anda
berarti menyatakan bahwa return adalah benar, tepat, dan lengkap. Bila
menandatanganinya berarti anda terlibat kebohongan.
Pajak ditentukan oleh self-assessment dan
pelaporan. Dalam konteks tersebut, sikap adil yang bisa dilakukan setiap orang
adalah dengan mengawasi diri sendiri. Masyarakat kita sering menggunakan sistem
kehormatan yang besar dan ini bisa dijalankan ketika sebagian besar orang
diatur oleh sistem kehormatan tersebut. Ada sesuatu yang berlawanan dengan
kejujuran dan kesejahteraan publik saat ada upaya untuk mengelak dari tujuan
hukum spesifik yang memberikan batasan pada klien yang ingin menghindari
pembayaran segmen pajak yang adil. Sistem pajak dapat diselewengkan oleh
akuntan dan perusahaan akuntansi yang menggunakan skema penghindaran-pajak.
Bagian implisit dari semua ini adalah sebuah rekognisi tanggungjawab akuntan
dan perusahaannya untuk mempertahankan kejelasan sistem pajak–untuk menghasilkan
keseimbangan antara keuntungan pajak yang diinginkan dan loophole yang
bisa melemahkan sistem.
Akuntan dan perusahaan
akuntansi perlu mengetahui tanggung jawabnya pada masyarakat besar. Akuntan dan
perusahaannya perlu tegas, karena profesionalismenya, untuk mengikuti jalur
etika. Bantuan yang sering digunakan adalah nilai moral personal dan standar
plus sebuah kultur dalam perusahaan yang melarang pelanggaran nilai etika dalam
mencapai tujuan organisasi. Sebuah filosofi manajemen kuat yang mempertegas tindakan
etika dan komunikasi jelas dari perilaku etika. Dalam situasi ini, bahkan
ketika menyebabkan kerugian klien, akuntan tetap akan melakukan apa yang benar.
Ancaman kehilangan lisensi akibat tindakan tidak beretika adalah sebuah faktor,
tapi ini bukanlah faktor primer. Berbagai tantangan etika yang sering terjadi
antara lain: kompleksitas dan perubahan sifat dari hukum pajak, keterbatasan
waktu untuk praktek, pengetahuan tentang hukum pajak yang kompleks, tekanan
dari klien untuk mengurangi liabilitas pajak, dan kurangnya pemahaman klien
terkait tanggungjawab profesional dan potensi hukuman dari akuntan baik bagi
praktisi pajak dan pembayar pajak. Berikut ini disajikan kasus yang
mencerminkan kompleksitas aturan perpajakan dengan tuntutan klien.
1. Jeratan Pajak
Ganda pada Dividen
Secara teori Indonesia
menganut sistem klasik. Artinya, ada pembedaan subyek pajak. Yaitu subyek pajak
badan dan subjek pajak perseorangan. Yang bermasalah dalam pajak deviden adalah
terjadi economic double taxation. Pengertiannya, sebelum dividen
dibagi kepada pengusaha, dia merupakan laba perusahaan yang dikenakan pajak,
atau disebut pajak korporat. Namun, ketika dibagi lagi kepada pemegang saham di
korporat, pemegang saham itu harus dikenakan pajak lagi. Inilah yang disebut sebagai
pajak ganda
2. Sengketa Pajak
Kalau terjadi sengketa,
yaitu hitungan wajib pajak (WP) dengan petugas pajak berbeda, maka apapun yang
akan dipakai adalah hitungan aparat pajak, dan hitungan itu harus dibayar lebih
dahulu oleh WP sebesar 50% dari hitungan petugas pajak sebelum bisa dibawa
kepada pengadilan pajak. Apabila hitungan WP yang dinyatakan pengadilan benar
maka WP berhak menerima restitusi. Malangnya, uang restitusi itu kenyataannya
tidak segera dibayarkan oleh Fiscus. Jika uang restitusi jumlahnya milyaran
jelas saja mengganggu arus kas para pengusaha. Inilah persoalan yang menjadi
momok dalam dispute antara WP dengan aparat pajak. Untungnya, dalam UU KUP
28/2007 perhitungan SPT ditentukan secara bersama-sama. Jika ada perbedaan
klaim angka, maka yang lebih dahulu dipakai adalah klaim WP. Sebelum masuk ke
pengadilan pajak, WP hanya cukup membayar sebesar 50 persen dari klaim hitungan
WP sendiri.
3. Tarif Pajak yang
tinggi
Ketua Tax Centre UI,
Tafsir Nurchamid dan pengusaha Anton J Supit mengatakan bahwa tarif yang tinggi
kalau diturunkan punya dampak pada seretnya penerimaan negara. Padahal disaat
yang sama pendapatan negara itu sebagian besar ditujukan untuk membayar hutang
dan obligasi rekap. Meskipun semestinya menurut Anton J Supit penerimaan dari
pajak itu digunakan untuk membangun infrastruktur. Banyak kalangan perpajakan
seperti Permana Agung, Gunadi, dan Haula Rusdiana mengatakan sebaiknya ada
kebijakan untuk membuat tarif menjadi lebih rendah. Selain lebih kompetitif
bagi dunia usaha, pajak yang rendah dianggap justru akan meningkatkan
penerimaan negara karena semakin banyaknya potensi pajak yang terjaring. Tarif
yang tinggi membuat yang bayar menjadi sedikit. Sehingga membuat banyak orang
yang lain lebih sering menghindar dari petugas pajak.
Good
Governance mewujudkan
kepatuhan sukarela
Dalam mengatasi
permasalahan perpajakan di Indonesia, Dirjen Pajak haruslah segera melakukan
reformasi birokrasi di kementrian Keuangan khususnya Dirjen Pajak secara serius
dan transparan untuk memperbaiki standar pelayanan umum yang diberikan kepada
publik. Gagasan utama bahwa pelayananan publik dapat ditingkatkan efektivitas
dan efisiensinya jika administrasi publik mau dan mampu mengadopsi pendekatan
yang sering digunakan di sektor bisnis, di mana manajer diberi kebebasan untuk
mengelola dan tidak dibatasi oleh struktur yang tertutup dan kaku seperti yang
diajarkan oleh perspektif administrasi publik klasik. Oleh karena itu dalam
birokrasi pemerintah harus ada perlu adanya reformasi birokrasi dengan
mewujudkan good governance. Perwujudan good governance dapat
dilakukan melalui strategi new public management.
Strategi ini
berorientasi sistem privatisasi kedalam sektor publik yang mengadopsi mekanisme
pasar dalam pelayanan publik. Sehingga dapat diartikan hubungan pemerintah
dengan rakyat, hubungan keduanya dapat dianalogikan hubungan penjual dengan
pelanggan dalam jual beli. Sehingga dalam perwujudannya pemerintah haruslah
melayani rakyat(hidup untuk rakyat), bukan menjadikan rakyat sebagai alat untuk
mencapai tujuannya. Sedangkan di dalam Dirjen Pajak harus bisa diwujudkan good
corporate governace / GCG (perusahaan atau instansi). Menurut
Syakhroza (2003) mendefinisikan GCG sebagai suatu mekanisme tata kelola
organisasi secara baik dalam melakukan pengelolaan sumber daya organisasi
secara efisien, efektif, ekonomis ataupun produktif dengan prinsip-prinsip
terbuka, akuntabilitas, pertanggungjawaban, independen, dan adil dalam rangka
mencapai tujuan organisasi. Dirjen Pajak harus mewujudkan lima prinsip GCG,
yaitu: Transparansi, Akuntabilitas, Responsibilitas, Independensi, dan
Kesetaraan.
Dalam prinsip pertama
yaitu Transparansi adalah kewajiban bagi para pengelola untuk menjalankan
prinsip keterbukaan dan penyampaian informasi (Tjager dkk,2 003). Birokrasi
perpajakan harus trasparan tentang aliran penerimaan, pengeluaran dan arah
pajak kemana haruslah jelas. Prinsip yang kedua Akuntabilitas adalah prinsip di
mana para pengelola berkewajiban untuk membina sistem akuntansi yang efektif
untuk menghasilkan laporan keuangan yang dapat dipercaya (Tjager dkk, 2003). Di
sini diperlukan kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban setiap
organ sehingga pengelolaan berjalan efektif. Sehingga tidak terjadi
penyalahgunaan wewenang maupun munculnya mafia pajak. Ketika prinsip ini
diterapkan maka setiap stakeholder Dirjen Pajak harus memahami
wewenang dan berjalan sesuai tugas dan wewenang. Seringkali di berbagai
instansi sering terjadi ketidakjelasan pekerja, sehingga apa yang harus
dikerjakan saat ini belum jelas. Berikutnya, prinsip ketiga yaitu Independensi
atau kemandirian adalah suatu keadaan di mana para pengelola dalam mengambil
keputusan bersifat profesional, mandiri, bebas dari konflik kepentingan dan
bebas dari tekanan atau pengaruh dari berbagai pihak (Tjager dkk,2003). Dengan
prinsip ini para stakeholder tidak terpengaruh intervensi dari
berbagai pihak, mereka memiliki rasa loyalitas terhadap perusahaan. Secara
otomatis kepatuhan sukarela pegawai pajak akan muncul. Prinsip yang terakhir
yaitu Kesetaran (Fairness) adalah kesetaraan perlakuan terhadap pihak-pihak
yang berkepentingan sesuai dengan kriteria dan proporsi yang seharusnya (Tjager
dkk,2003). Pegawai pajak wajib menyadari bahwa dalam menerima dan menetapkan
pajak harus adil dan setara. Harus sesuai dengan peraturan, sehingga yang
berhak mendapatkan beban pajak banyak, harus membayar banyak pula. Tidak ada
keringanan pembayaran kecuali diatur dalam undang undang. Sebaliknya jika
menurut undang-undang seseorang dibebani pembayaran pajak ringan. Haruslah
membayar pajak sesuai dengan peraturan, tidak bisa ditambah-tambah jika tidak
diatur dalam undang-undang.
Selain perbaikan segara
internal juga harus ada perbaikan secara eksternal. Salah satunya harus adanya
laporan khusus untuk rakyat. Laporan pajak bukan hanya dilaporkan dalam bentuk
akuntansi yang hanya dimengerti oleh orang-orang tertentu saja, tetapi laporan
keuangan juga harus dipublikasikan beserta bukti-buktinya. publikasi bisa
melalui media televisi, media masa, maupun poster atau baliho. Selain masalah
laporan pajak, harus ada perbaikan persepsi pajak. Salah satu salah satu adalah
persepsi sifat dari pajak yaitu bersifat memaksa. Dengan kata ini secara tidak
langsung, membayar pajak bukan suatu sikap kesadaran sukarela. Tetapi dengan
ungkapan ini mempertebal persepsi bahwa adalah suatu pemaksaan pajak. walaupun
begitu tetap harus ada peraturan yang jelas baik regulasi maupun sanksi dan
dilakukan sesuai dengan apa yang diatur dalam undang-undang. Parameter
keberhasilan perpajakan dapat dilihat dari hubungan antara pembayaran oleh
rakyat dengan yang diperoleh rakyat sebanding, mereka merasa puas dan
sejahtera. seharusnya pajak bisa menjadi sarana meningkatkan kesejahteraan,
khususnya membuka lapangan kerja. Ketika semakin terbukanya lapangan pekerjaan
dan pengangguran berkurang pendapatan pajak akan naik pula. Seharusnya bukan
pembayaran pajak dinaikkan tetapi seharusnya tingkat pendapatan
naik dan pengangguran berkurang, secara otomatis tingkat kesejahteraannya akan
naik. Jika hasil pungutan pajak tidak dikolusi dan alokasi penciptaan lapangan
kerja ditingkatkan pendapatan pajak akan berkurang. Dan juga alokasi APBN tidak
mengandalkan pajak secara sepenuhnya. Ketika rakyat sejahtera terpenuhi, maka
rakyat akan memiliki rasa bangga dengan apa yang telah diberikan pemerintah,
sehingga kepatuhan sukarela akan terwujud.
Kesimpulan
Etika sangat diperlukan
dalam praktek perpajakan terutama bagi pemerintah dan aparatnya serta akuntan
publik yang juga menjadi penanggung jawab informasi keuangan rakyat. Etika
dalam hal ini menyangkut keadilan distributif, non diskriminasi,
profesionalisme, independensi. Dalam menjalankan fungsinya, pemerintah harus
mampu menjunjung tinggi kebijakan yang telah dibuat dan juga menindak para
oknum dalam kasus-kasus yang mencemari dunia perpajakan sehingga dapat
memulihkan rakyat. Sedangkan akuntan sendiri harus mampu menegakkan etika
profesinya dalam melaksanakan tanggung jawabnya. Apabila keduanya terwujud maka
akan mewujudkan good corporate governance yang juga akan
memulihkan kepatuhan masyarakat terhadap pemerintah maupun pajak.
Referensi
Ardana, Sukrisno Agoes
dan I Cenik. 2009. Etika Bisnis dan Profesi. Jakarta: Penerbit
Salemba Empat.
Duska, Ronald F. dan
Brenda S. Duska. 2005. Foundation of Business Ethics, Accounting
Ethics. Blackwell Publishing.
https://nenygory.wordpress.com/2011/07/16/akuntansi-dalam-praktek-perpajakan/
https://id.scribd.com/doc/293153710/ETIKA-AKUNTANSI-PAJAK
http://yeniqt.blogspot.co.id/